PROTIMES.CO – Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kadang dibenci dan kadang dicinta. Begitu juga soal Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilu lokal.
Dia menyerahkan tindak lanjut putusan tersebut kepada pembentuk Undang-Undang (UU), yaitu DPR dan pemerintah.
Pernyataan itu disampaikan Titi saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik yang mengangkat tema Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK yang digelar Fraksi PKB di Ruang BAKN Gedung Nusantara II DPR RI, Jumat (4/7/2025).
“Tindak lanjut putusan MK kami serahkan ke pembentuk Undang-Undang. Tentu, kami berharap DPR dan pemerintah segera menindaklanjuti putusan tersebut. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan,” ucap Titi.
Sebenarnya, kata Titi, perjuangan memisahkan antara keserentakan pemilu nasional dan pemilu lokal ini sudah cukup lama. Bahkan, Badan Keahlian DPR sendiri pernah menawarkan soal pemisahan keserentakan pemilu nasional dan pemilu daerah dalam RUU Pemilu yang masuk pada Prolegnas tahun 2020.
Akan tetapi, lanjut mantan Direktur Eksekutif Perludem itu, pada tahun 2021, RUU Pemilu itu dicabut dari prolegnas. Pencabutan itu pun mengakibabtkan tidak ada revisi UU Pemilu hingga Pemilu 2024 selesai dilaksanakan.
Perludem kemudian mengajukan judicial review (JR) ke MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Permohonan uji materi yang diajukan Perludem akhirnya dikabulkan sebagian. Melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Berdasarkan putusan itu, pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD digelar lebih dulu. Kemudian, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah dilaksanakan sekitar 2–2,5 tahun kemudian.
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia (UI) itu mendorong pembentuk UU untuk segera membahas revisi UU Pemilu dan UU Pilkada dengan metode kodifikasi. DPR dan pemerintah juga harus memperhatikan transisi masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.
“Perumusan masa transisi diserahkan kepada pembentuk UU. Ada dua acara dalam mengatasi masa transisi, yaitu memperpanjang masa jabatan atau penjabat,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah
Be First to Comment