Tanggal dan Hari

Pemerintah Pangkas Anggaran, Ini Dampaknya pada Sektor Pendidikan dan Pariwisata

Dalam jangka pendek, pemangkasan anggaran berdampak negatif pada sektor pariwisata & akademik. Namun, hal ini dapat dialokasikan ke sektor yang lebih prioritas.

Pemangkasan belanja pemerintah menjadi isu yang menarik perhatian, terutama dampaknya terhadap sektor pariwisata dan akademisi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan pemotongan anggaran sebesar Rp256,1 triliun untuk tahun 2025 ini. Beberapa pos yang terkena pemotongan meliputi belanja percetakan dan souvenir (75,9%), kegiatan seremonial (56,9%), perjalanan dinas (53,9%), kajian dan analisis (51,5%), rapat, seminar, dan kegiatan sejenis (45%), serta diklat dan bimtek (29%).

Pemangkasan ini diperkirakan berdampak signifikan pada sektor perhotelan. Hotel yang mengandalkan peserta rapat, seminar, dan perjalanan dinas pemerintah akan mengalami penurunan okupansi.

Dampaknya juga dirasakan oleh restoran, penyedia jasa konferensi, serta sektor transportasi yang melayani perjalanan dinas. Maskapai penerbangan dan transportasi darat diperkirakan mengalami penurunan permintaan tiket untuk rute yang biasa digunakan pegawai pemerintah.

Bagi akademisi dan peneliti, pemangkasan anggaran untuk kajian, analisis, seminar, dan workshop berakibat pada berkurangnya proyek riset yang selama ini menjadi sumber pendapatan. Kesempatan menjadi pembicara atau fasilitator dalam seminar akademik juga akan berkurang.

Selain berdampak pada dunia akademik, kebijakan ini turut menekan industri pariwisata secara luas. Perjalanan dinas sering kali diiringi kunjungan ke destinasi wisata, sehingga pemotongan anggaran ini dapat mengurangi jumlah wisatawan domestik. Kota-kota seperti Bali, Yogyakarta, dan Lombok yang banyak menerima wisatawan dari kegiatan dinas dan MICE akan mengalami penurunan jumlah kunjungan.

Pelaku industri perhotelan dan restoran pun menyuarakan kekhawatiran mereka. Ketua PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana menyebut bahwa, sejak diterbitkannya kebijakan ini, banyak kementerian dan pemerintah daerah membatalkan reservasi untuk kegiatan MICE, dengan tingkat pembatalan mencapai 40%.

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani juga mengkritik kebijakan ini, karena selama ini kegiatan pemerintah di hotel dan restoran menjadi salah satu penggerak perekonomian. Ia khawatir pemangkasan anggaran perjalanan dinas justru berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.

Dosen dan Pengamat Pariwisata, Wahyu I Widodo.

Pengetatan anggaran untuk perjalanan dinas dan rapat bukanlah kebijakan yang hanya terjadi di Indonesia. Malaysia sejak tahun 2015 membatasi perjalanan dinas dan kegiatan rapat. Thailand mengurangi anggaran perjalanan dinas luar negeri dan rapat tidak mendesak, yang berhasil menghemat 10-15% anggaran. Di Jerman, menerapkan batasan biaya akomodasi dan transportasi bagi pegawai negeri, serta mendorong penggunaan transportasi publik, yang akhirnya mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 10% dalam dua tahun.

Di Indonesia sendiri, kebijakan serupa pernah diterapkan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014–2015. Meskipun bertujuan untuk efisiensi, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap menghambat kinerja instansi pemerintah yang membutuhkan koordinasi lapangan dan rapat intensif.

Dalam jangka pendek, pemangkasan anggaran ini memang berdampak negatif pada sektor pariwisata dan akademik. Namun, jika dikelola dengan baik, penghematan ini dapat dialokasikan ke sektor yang lebih prioritas seperti infrastruktur pariwisata, pendidikan, dan kesehatan.

Menurut jurnal Kebijakan Rasionalisasi Anggaran oleh Wijaya FK (2019), pemangkasan belanja yang kurang produktif bertujuan untuk mendukung sektor strategis. Namun, kebijakan ini juga menuntut industri yang bergantung pada belanja pemerintah untuk mencari strategi adaptasi agar tetap bertahan.

Meskipun kebijakan ini mengurangi permintaan dari segmen pemerintah, pelaku industri pariwisata tetap memiliki peluang besar di segmen lain, seperti wisatawan leisure, korporasi swasta, dan wisatawan internasional. Hotel, restoran, dan agen perjalanan tidak hanya bergantung pada kunjungan pegawai pemerintah. Namun dengan inovasi dan strategi pemasaran yang tepat, mereka bisa mengembangkan pangsa pasar baru.

Begitu pula bagi akademisi, proyek penelitian pemerintah bukanlah satu-satunya sumber penghidupan. Akademisi memiliki peran utama dalam menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketergantungan pada proyek riset berbayar atau honorarium sebagai pembicara seharusnya tidak menjadi fokus utama, melainkan bagian dari kontribusi terhadap pengembangan industri dan masyarakat.

Dalam menghadapi kebijakan ini, adaptasi dan inovasi menjadi kunci utama. Industri pariwisata perlu memperluas pasar mereka, sementara akademisi harus tetap fokus pada kontribusi jangka panjang bagi dunia pendidikan dan penelitian. 

Oleh: Wahyu I Widodo (Dosen & Pengamat Pariwisata)

Yogyakarta, 2 Februari 2025

Agar Tidak Ketinggalan Informasi Terbaru
Ikuti Berita Kami di Google News, Klik Disini

Scroll to Top

LOGIN