PROTIMES.CO – Kompleksitas hukum dan pembuktian dalam kasus dugaan pelanggaran hak terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mendorong pemerintah mempertimbangkan jalur keadilan restoratif sebagai solusi alternatif.
Pendekatan ini dinilai mampu menjembatani kebuntuan dalam proses hukum formal yang kerap terganjal oleh persoalan daluwarsa, minimnya bukti fisik, serta keterbatasan yurisdiksi.
Restorative justice, atau keadilan restoratif, mengedepankan upaya pemulihan dibanding penghukuman.
Bagi para korban OCI, pendekatan ini membuka ruang untuk mendapatkan pengakuan, kompensasi, dan jaminan pemulihan psikososial.
Tak hanya itu, pelibatan korban dalam proses dialog dengan pihak yang dianggap bertanggung jawab dapat memberikan makna keadilan yang lebih personal dan menyembuhkan.
Namun, penerapannya tak lepas dari syarat: pelaku atau pihak yang dimintai tanggung jawab harus bersedia terlibat secara aktif dan menunjukkan itikad baik untuk mengakui kesalahan. Tanpa kesediaan ini, pendekatan restoratif berisiko menjadi sekadar formalitas.
Dalam kerangka hukum Indonesia saat ini, restorative justice masih dibatasi penggunaannya hanya untuk kasus-kasus ringan. Ini menjadi tantangan tersendiri jika ingin diterapkan dalam konteks seperti OCI yang menyentuh isu pelanggaran HAM.
Meskipun begitu, lembaga-lembaga negara, termasuk Kementerian HAM, bisa memainkan peran kunci dalam mendorong pelebaran kerangka hukum untuk mengakomodasi penyelesaian alternatif semacam ini.
Model keadilan restoratif memberikan pendekatan yang lebih manusiawi, apalagi jika struktur hukum formal tidak mampu sepenuhnya menjawab keinginan korban untuk keadilan. Dialog, permintaan maaf, atau kompensasi dapat menjadi langkah konkret yang mengobati luka lama.
Dengan catatan dilakukan secara transparan dan adil, restorative justice bisa menjadi jalan tengah bagi korban OCI yang masih menanti penyelesaian kasus yang telah membayangi hidup mereka sejak masa kecil.
Pewarta: Dzakwan
Editor: Khopipah