Press "Enter" to skip to content

2,4 Juta Ojol Terjebak Sistem Eksploitatif, Next Policy: Saatnya Pengemudi Daring Bersatu Bentuk Koperasi

Pengemudi ojek online dari berbagai aplikator. (Foto: Shutterstock/Creativa Images)

PROTIMES.CO – Lembaga Kajian Next Policy mendorong pembentukan ‘koperasi pengemudi daring’ untuk pekerja digital transportasi sebagai solusi atas ketimpangan relasi kerja dalam industri ride-hailing

Rekomendasi ini disampaikan sebagai respons atas memburuknya kesejahteraan mitra ojek daring (ojek online/ojol) yang didominasi pekerja miskin kota dengan jam kerja panjang dan upah rendah.

Next Policy memperkirakan terdapat 2,41 juta pekerja digital transportasi di Indonesia pada tahun 2024. Jumlah ini meningkat tajam dari 1,49 juta pada tahun 2019, atau tumbuh rata-rata 10,2 persen per tahun.

Mayoritas dari mereka adalah lulusan pendidikan menengah ke bawah, dengan 56,6 persen lulusan SMA, 18,4 persen lulusan SMP, dan 17,3 persen lulusan SD.

“Pekerja ojol kini bukan lagi pekerjaan sambilan, tapi pekerjaan utama dengan kondisi kerja yang sangat rentan,” ujar Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, Kamis (24/7/2025).

Yusuf menambahkan bahwa sebanyak 89,7 persen pekerja ojol menjadikan profesi ini sebagai pekerjaan utama pada 2024, naik dari 82,9 persen pada 2019.

Data Next Policy menunjukkan sekitar 75 persen pekerja digital transportasi berpenghasilan di bawah Rp3 juta per bulan, atau di bawah rata-rata upah minimum nasional.

Kondisi ini diperparah oleh jam kerja yang sangat panjang. 66 persen dari mereka bekerja lebih dari 40 jam per minggu, bahkan 22,9 persen bekerja hingga 98 jam per minggu tanpa jaminan hari libur.

“Jam kerja yang panjang dan tekanan dari sistem order digital membuat pekerja ojol terjebak dalam perang tarif antar aplikator, sementara mereka tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai,” kata Yusuf.

Dari sisi demografi, sekitar 80 persen pekerja digital transportasi adalah usia muda, dengan kelompok usia 30–40 tahun paling dominan (30,7 persen), disusul 40–50 tahun (28,8 persen), dan 20–30 tahun (19,7 persen). Adapun partisipasi perempuan masih sangat rendah, hanya 3,57 persen atau sekitar 86 ribu orang dari total pekerja ojol.

Secara geografis, pekerja ojol adalah fenomena urban. Sekitar 82 persen terkonsentrasi di kota-kota besar, dengan Jabodetabek menyumbang 29 persen dari total pekerja digital transportasi nasional.

Meskipun begitu, tren baru menunjukkan pertumbuhan cepat di wilayah non-Jawa. Misalnya, di luar lima provinsi utama seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, pertumbuhan pekerja ojol mencapai 15,5 persen per tahun, dua kali lipat dari wilayah utama.

Melihat kondisi tersebut, Yusuf menyebut transformasi kelembagaan menjadi koperasi sebagai opsi strategis.

“Kami mengusulkan pendirian 20 ‘koperasi pengemudi daring’ sebagai badan usaha milik pekerja digital transportasi. Ini bisa dimulai di kota-kota dengan jumlah pekerja ojol besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar,” ujarnya.

Menurutnya, koperasi ini bisa menjadi wadah kolektif bagi pekerja untuk memiliki, mengelola, dan mengontrol platform digital mereka sendiri.

“Dengan skema ini, pemerintah bisa menyediakan seluruh kebutuhan modal awal, tanpa utang, berbeda dengan skema koperasi desa yang berisiko sistemik karena menjaminkan Dana Desa ke bank,” tegas Yusuf.

Yusuf juga menyoroti ironi digitalisasi ekonomi yang semestinya menciptakan efisiensi dan kesejahteraan, tetapi justru memperdalam kerentanan tenaga kerja.

“Digitalisasi mestinya tidak menjadi jalan pintas menuju eksploitasi. Platform digital harus berbagi manfaat secara adil antara pemilik modal dan buruh digital,” tukasnya.

Pewarta: Khairul

Editor: Khopipah

Be First to Comment

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *