PROTIMES.CO – Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) menyatakan menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Revisi UU TNI berpotensi mengancam supremasi sipil, mempolitisir militer, serta mengabaikan masalah integritas dan akuntabilitas internal TNI yang telah berlangsung lama.
OMS menyoroti alih-alih memperkuat supremasi sipil dalam tatanan demokrasi, revisi UU TNI justru mengancam tata pemerintahan demokratis dan merusak upaya pembangunan, termasuk menormalisasi penugasan TNI di lembaga publik non-militer.
Kritik ini terungkap dalam Diskusi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bertema “The Growing of Militarism and Authoritarianism” pada Selasa (18/3/2025).
Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan peringatan 40 tahun advokasi INFID sejak tahun 1985.
Diskusi dipandu oleh Dina Mariana dari IRE Yogyakarta dan menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu akademisi Profesor Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti CSIS Dominique Nicky Fahrizal, dan peneliti BRIN Rosita Dewi.
Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah menyebut revisi UU TNI dipandang sebagai langkah berbahaya dan menuju militerisasi institusi publik karena memperluas ruang lingkup penugasan TNI ke 16 kementerian/lembaga sipil.
“Padahal saat ini sudah banyak institusi publik di luar 16 kementerian yang diajukan, seperti Kepala Badan Urusan Logistik (BULOG), Kepala Sekretariat Presiden, serta Irjen di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pertanian.” ujar Ni’mah.
Hal ini bertentangan dengan upaya selama dua dekade reformasi mendorong profesionalisme militer di sektor pertahanan.
“Langkah tersebut dapat merusak demokrasi Indonesia yang telah susah payah diraih dan menghidupkan kembali konsep dwifungsi TNI,” kata dia.
Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Dina Mariana menilai perluasan tanggung jawab TNI terjadi saat Indonesia menghadapi tantangan pembangunan berupa kemiskinan, ketimpangan pembangunan, dan tingginya pemutusan hubungan kerja.
Skandal suap dan korupsi terus terjadi pada institusi yang terafiliasi dengan TNI, seperti yang terdokumentasi dalam kasus pengadaan alat utama sistem persenjataan (2016), kasus suap korupsi satelit Kementerian Pertahanan (2021) yang mengakibatkan kerugian negara 453 miliar, serta kasus suap korupsi dana pensiun PT Asabri yang mencapai Rp22,78 triliun.
“Kasus-kasus suap korupsi ini menunjukkan permasalahan integritas dan akuntabilitas yang kritis di dalam tubuh TNI, serta menimbulkan keraguan serius atas kemampuan TNI untuk mengelola dana publik secara efektif dan bertanggung jawab di sektor sipil,” tutur Dina.
Dari sudut pandang pembangunan, penting untuk memiliki lembaga yang kuat, transparan, dan akuntabel guna mencapai pembangunan berkelanjutan.
Hal ini memerlukan pemisahan yang jelas antara fungsi militer dan sipil, komitmen terhadap meritokrasi dalam sistem promosi internal TNI, serta mekanisme anti-korupsi yang efektif.
Revisi yang diusulkan, dengan menormalisasi keterlibatan TNI di bidang sipil dan tidak sepenuhnya mengatasi masalah suap korupsi, melanggar prinsip-prinsip dasar tersebut.
Suap dan korupsi yang terus terjadi, serta kurangnya transparansi di dalam TNI, menimbulkan risiko serius bagi keberlanjutan dan keberhasilan program pembangunan.
Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, justru dialihkan kepada praktek suap korupsi, sehingga menghambat potensi pertumbuhan yang berkelanjutan dan merata.
Implikasi finansial dari revisi UU TNI juga menjadi perhatian utama. Keterlibatan TNI yang luas dalam proyek infrastruktur sipil menimbulkan kekhawatiran akan potensi pembengkakan anggaran dan alokasi sumber daya publik yang tidak efisien, sehingga mengalihkan dana dari program-program pembangunan yang penting.
Peningkatan pengeluaran militer, dengan mengorbankan layanan sosial yang vital, memperparah ketimpangan ekonomi sosial dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Evaluasi mengenai 20 tahun revisi UU TNI yang terakhir di tahun 2004 juga belum dilakukan dan dipublikasikan kepada publik.
Revisi UU TNI saat ini dipandang justru menekankan hal teknis dan distribusi jabatan publik kepada TNI ketimbang berpijakan kepada tren dan kebutuhan pertahanan global saat ini seperti isu siber, relevansinya terhadap demokrasi dan lainnya.
OMS menekankan bahwa TNI beroperasi sesuai dengan mandat konstitusionalnya di sektor pertahanan.
Rencana revisi UU TNI saat ini, bukannya mendorong akuntabilitas dan integritas yang sangat dibutuhkan dan memperkuat supremasi sipil, malah memperdalam keterlibatan militer dalam urusan sipil.
Masyarakat sipil menyerukan agar dilakukan pembatalan revisi UU tersebut disertai komitmen baru untuk memastikan bahwa TNI mematuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah