PROTIMES.CO – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengeluarkan kebijakan untuk kemasan rokok dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Diketahui kebijakan ini mengatur soal zonasi dan iklan produk tembakau, khususnya desain kemasan agar polos dan seragam.
Anggota Komisi IX DPR, Nurhadi mengaku khawatir RPMK yang mengatur pembatasan iklan dan pengendalian produk tembakau akan merugikan kota-kota yang ekonominya sangat bergantung pada industri rokok.
“Saya mendorong agar pemerintah mengevaluasi kembali dan melibatkan lebih banyak pihak sebelum RPMK disahkan,” ujar Nurhadi.
Sebelumnya, Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa tujuan RPMK ini adalah untuk pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya.
Kemenkes menyatakan tidak melarang orang merokok, karena merokok adalah hak dari setiap orang.
Akan tetapi, rencana penyusunan RPMK tersebut justru menimbulkan berbagai polemik. Bahkan, banyak yang menganggap aturan ini bisa memberikan dampak buruk, baik bagi perekonomian nasional maupun dari sisi kesehatan.
Aturan ini juga dinilai akan memberikan kesempatan besar bagi penjualan produk rokok ilegal sehingga kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok.
“Jadi saya kok merasa Pak Menteri pintar tapi tidak bijaksana. Saya menganalogikan kebijakan RPMK seperti pengemudi yang di depannya ada kerbau yang ingin menyeberang. Kalau maju terus ya pengemudi nabrak kerbau, mungkin kerbau mati, mobilnya rusak dan pengemudi luka-luka, akan tetapi kalau sedikit menahan keinginan untuk terus maju maka semuanya akan bisa selamat,” ungkap Nurhadi.
Lantaran juga akan berdampak pada perekonomian, Nurhadi menilai, Kemenkes perlu mengkaji lebih dalam mengenai RPMK industri tembakau ini.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak menunjukan keberpihakan terhadap petani dan pelaku usaha tembakau.
Adapun tiga poin yang menjadi fokus kebijakan tersebut, yakni penerapan kemasan polos pada rokok, larangan penjualan rokok pada radius 200 meter di pusat pendidikan dan taman bermain serta larangan pengiklanan produk rokok.
Ketiga poin ini juga masih kontroversial sehingga perlu adanya kajian lebih lanjut.
“Kita harus kaji lebih mendalam terkait rencana tiga poin yang mau diterapkan ini. Jika skenario itu dijalankan maka dampak ekonomi yang akan hilang setara dengan Rp308 Triliun atau 1,5 persen dari PDB,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.
Selain itu, lanjut Nurhadi, kebijakan ini juga bisa mempengaruhi capaian target pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 5 persen. Apabila tetap diterapkan, ia menyebut, pemerintah beresiko kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp160,6 triliun atau 7 persen dari total penerimaan pajak nasional.
“Maka saya pertanyakan lagi, mengapa Kemenkes begitu memaksakan agar PMK ini jalan? Padahal, penerapan aturan ini akan menyuburkan peredaran rokok ilegal dengan mendorong kebijakan eksesif,” ucap Nurhadi.
Di sisi lain, Nurhadi juga mempertanyakan rencana pemberian kompensasi atau program alternatif bagi petani dan pedagang retail yang akan terdampak atas RPMK ini.
Ia pun menyayangkan tidak adanya pelibatan organisasi masyarakat seperti Serikat Petani Tembakau yang dapat memberikan perspektif lain dari rencana penerapan kebijakan tersebut.
“Bukan saya rewel, saya tidak merokok, tapi saya berempati kepada 1.300 industri rokok dengan 600 ribu karyawan. Ratusan ribu petani tembakau dan puluhan ribu pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya di industri ini akan terdampak,” ungkap Nurhadi.
“Kebijakan ini memang untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tapi jangan juga pak Menteri menutup mata terkait keberadaan ribuan industri tembakau ini. Di mana notabene ada ratusan ribuan orang yang menggantungkan hidupnya di sini” lanjutnya.
Oleh karena itu, Nurhadi mengimbau Kemenkes untuk mencari solusi yang lebih bijak dalam mengatasi persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah juga harus mementingkan kehidupan rakyat.
Nurhadi menyatakan bahwa pihaknya akan mengawal penerapan RPMK. Ia mengingatkan bahwa pembahasan RPMK belum pernah melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, sehingga ada penafsiran antara pihak Kemenkes dan Kemenaker tidak sama.
“Dan apabila RPMK ini di terapkan, maka tidak akan jauh berbeda kondisinya dengan saudara-saudara kita peternak sapi perah, di mana setiap hari ada ratusan ton sapi perah yang di buang dan di korbankan,” kata Nurhadi.
“Jadi lucu betul negara ini jika setiap kebijakan harus menunggu evaluasi setelah kegaduhan terjadi. Dan harus digarisbawahi pula, saya keras menolak RPMK ini bukan karena saya perokok, bukan, tapi murni karena saya pribadi melihat efek negatif dari pemberlakuan RPMK nantinya,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah