PROTIMES.CO – Pemerintah dan DPR tengah melakukan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Sejumlah pihak menyoroti berbagai hal terkait dengan keterbukaan akses dan informasi draf RUU yang dinilai tidak transparan termasuk adanya beberapa poin krusial.
Di antara poin-poin krusial yang menjadi perhatian dan mengundang pro kontra adalah Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri, yang memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Ruang Siber yang dikhawatirkan akan memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital.
Poin krusial lainnya adalah Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional.
Kemudian Pasal 14 Ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.
Analis Sosial Politik dan Komunikasi Kebijakan Publik yang juga Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM) Syukron Jamal mengingatkan pemerintah dan DPR agar memiliki komitmen yang sama bersama rakyat menguatkan peran Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
“Kekuatan Polri itu terletak pada partisipasi dan dukungan masyarakat. Revisi UU Polri harus menguatkan itu. Menjadikan Polri mitra dan sahabat masyarakat, dekat dengan semua unsur masyarakat. Jangan sebaliknya, dibuat berjarak dengan masyarakat untuk menopang kepentingan-kepentingan yang justru tidak sesuai kehendak rakyat,” kata Jamal, Rabu (9/4/2025).
Rekam jejak Polri di masyarakat termasuk berbagai kritikan di berbagai media sosial juga harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan revisi UU Polri.
“Masukan dan kritikan dari masyarakat terhadap Polri selama ini wajib didengar dan dijadikan bahan penting untuk perbaikan Polri kedepan,” tegasnya.
Selanjutnya, terkait wewenang Polri, Jamal menyebut pihaknya menilai jangan sampai ada amputasi atau pengurangan termasuk penambahan wewenang.
Hal tersebut dinilai karena wewenang Polri sudah cukup, tinggal menguatkan saja dalam konteks perkembangan zaman seperti maraknya kejahatan siber dan lain-lain.
Yang perlu didorong justru bagaimana pengawasan publik terhadap Polri diperkuat dan dilegitimasi agar benar-benar didengar dan dijalankan dalam upaya perbaikan-perbaikan misalkan Kompolnas yang tidak hanya memberikan rekomendasi tapi juga diberi kekuatan hukum dalam menindak aparat kepolisian yang melakukan pelanggaran dan lain-lain.
Dalam konteks pembahasan Revisi UU Polri, pihaknya meminta pemerintah dan DPR transparan membuka draft naskah ke publik termasuk tahapan proses revisinya.
“Ini penting untuk mendorong partisipasi publik menjadikan Polri yang kuat dan profesional sesuai harapan masyarakat,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah