PROTIMES.CO – Aktivis demokrasi sekaligus Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengungkapkan bahwa dirinya mengalami serangan digital bertubi-tubi sejak 15 hingga 17 Juli 2025. Serangan ini terjadi setelah ia mengunggah video di TikTok mengenai bahaya buzzer bagi demokrasi.
Neni menyatakan bahwa video tersebut tidak ditujukan kepada individu tertentu, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM). Akan tetapi, pada 16 Juli, foto pribadinya justru muncul di sejumlah akun resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, termasuk akun Instagram Diskominfo Jabar, tanpa sepengetahuannya.
Amnesty International Indonesia memverifikasi salah satu unggahan di akun @DiskominfoJabar yang menampilkan penjelasan Gubernur KDM terkait anggaran media, dan menyisipkan foto Neni dalam konten tersebut.
Dalam waktu bersamaan, akun media sosial Neni, baik Instagram maupun TikTok, mengalami serangan ujaran kebencian dan peretasan.
“Akun WhatsApp saya tidak bisa diakses. Saya juga kesulitan mengakses akun TikTok,” ungkap Neni kepada Amnesty.
Ia juga menyatakan bahwa foto dirinya digunakan tanpa izin, yang memperparah kondisi serangan digital yang diterimanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan trejadinya peristiwa ini. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam Pasal 19 ICCPR.
“Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan,” ujar Usman Hamid.
Ia juga mendesak aparat penegak hukum untuk proaktif mengusut kasus ini dan membawa pelaku ke pengadilan. Jika tidak, menurutnya, ini hanya akan menguatkan keyakinan bahwa pelaku berada di atas hukum.
Amnesty menyatakan, sepanjang Januari hingga Juli 2025, terdapat sedikitnya 16 kasus serangan digital terhadap pembela HAM di Indonesia.
Pewarta: Dzakwan
Editor: Khopipah
Be First to Comment