Press "Enter" to skip to content

Spektrum Demokrasi Indonesia: Aksi Kerusuhan Unjuk Rasa Alarm Keras Bagi Pemerintah

Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia, Popy Rakhmawaty (Foto: ist)

PROTIMES.CO – Rangkaian aksi demonstrasi yang meluas di sejumlah kota pekan lalu berujung pada kerusuhan besar, menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil yang signifikan. Peristiwa meninggalnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), akibat terlindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus, menjadi pemicu ledakan kemarahan publik.

Di Makassar, Gedung DPRD Sulawesi Selatan dibakar massa, tiga orang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Di Nusa Tenggara Barat, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Solo dan beberapa daerah lain, kemarahan warga berujung pada perusakan fasilitas di kompleks DPRD.

Beberapa Polda, Polres, Polsek di sejumlah wilayah hingga Mako Brimob juga tidak luput aksi perusakan. Begitupula sejumlah fasilitas umum, kendaraan serta harta benda turut menjadi korban. Bahkan, kediaman Anggota DPR Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio dan Menkeu Sri Mulyani dijarah massa. Komnas HAM mencatat sekitar 951 orang ditangkap sepanjang aksi 25 dan 28 Agustus, mayoritas di Jakarta.

Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia, Popy Rakhmawaty, menyayangkan aksi demonstrasi yang disertai tindakan perusakan serta penjarahan

Ia menilai rangkaian kerusuhan ini tidak bisa dilihat sebagai insiden spontan. Menurutnya, amarah masyarakat sudah terakumulasi sejak lama dan akhirnya meledak ketika isu tunjangan rumah bagi anggota DPR mencuat.

“Isu tunjangan rumah untuk anggota DPR memang jadi pemicu, tetapi itu hanya simbol ketidakadilan yang lebih besar. Warga yang sehari-hari harus berjuang dengan tingginya harga pangan, biaya sewa, dan gaji pas-pasan, tentu merasa makin tertindas ketika mendengar wakil rakyat mendapat fasilitas tunjungan rumah hingga puluhan juta rupiah per bulan,” ujar Popy di Jakarta.

Popy menilai, isu tunjangan hanyalah simbol dari ketimpangan yang lebih dalam. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan inflasi tahunan pada Juli 2025 mencapai 2,37 persen. Angka itu terlihat masih dalam batas wajar, tetapi biaya hidup di perkotaan melonjak tajam, terutama sewa rumah dan harga bahan pangan. Gini ratio masih bertahan di level 0,381, menandakan ketimpangan penghasilan yang nyata.

Sementara itu, tingkat pengangguran di kalangan anak muda tetap tinggi, bahkan di beberapa daerah menembus dua digit.

“Anak-anak muda yang frustrasi karena susah mencari kerja, ditambah tekanan biaya hidup, menjadi kelompok yang paling mudah tersulut. Ketika ada kasus tragis seperti Affan, amarah itu langsung meledak,” tegas Popy.

Dari sisi keamanan, Popy menilai cara aparat dalam menangani demonstrasi turut memperburuk keadaan. Laporan awal Komnas HAM yang menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan, terutama terkait tewasnya Affan, memperlihatkan adanya gap antara aturan dan praktik di lapangan.

“Aturannya jelas, polisi harus bertindak sesuai prinsip proporsionalitas. Tapi masyarakat justru menyaksikan kekerasan. Itu menghancurkan kepercayaan publik pada negara,” ujarnya.

Popy juga menyoroti peran media sosial dalam mempercepat eskalasi. Informasi simpang siur, video potongan, hingga kabar bohong tentang penjarahan menyebar cepat dan memperkeruh suasana. “Media sosial menjadi penyulut api kekisruhan yang semakin besar. Rumor yang belum tentu benar langsung dipercaya, lalu mendorong massa bertindak lebih keras,” ucapnya.

Menurut Popy, solusi tidak bisa berhenti pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus mengambil langkah berlapis untuk meredakan ketegangan dan mencegah siklus kekerasan terulang. Pertama, mengusut tuntas kasus korban jiwa dan dugaan pelanggaran aparat secara transparan agar keadilan terlihat nyata. Kedua, membenahi prosedur pengendalian massa dengan mengedepankan dialog, bukan kekerasan. Ketiga, memperbaiki kebijakan yang dianggap menyinggung rasa keadilan masyarakat, termasuk meninjau kembali fasilitas pejabat negara yang dianggap berlebihan.

“Kalau negara hanya mengandalkan gas air mata, peluru karet, dan penangkapan massal, maka percayalah kerusuhan akan selalu terulang. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian pemerintah untuk mendengar, peduli, dan mengoreksi diri. Ini ujian besar bagi demokrasi, apakah suara rakyat yang marah akan dijawab dengan kekerasan atau dengan keadilan,” pungkasnya.

Pewarta: Khairul
Editor: Reza

Be First to Comment

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *