PROTIMES.CO – Pengamat Pertahanan dan Militer, Al Araf, menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim siswa yang dianggap nakal ke barak TNI untuk pembinaan karakter dan kedisiplinan.
Ia menilai kebijakan tersebut tidak tepat, karena kenakalan siswa tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran.
“Stop langkah-langkah yang tidak strategis. Di tengah dinamika begitu global, tiba-tiba Dedi Mulyadi menyuruh anak-anak nakal latihan di barak militer. Menurut saya, ke mana ya hubungannya?” ujar Al Araf pada Kamis (22/5).
Menurut Al Araf, barak militer merupakan tempat yang dikhususkan untuk latihan perang dan menjaga pertahanan negara, sehingga mempunyai ekosistem yang berbeda dengan masyarakat sipil atau siswa yang nakal.
“Tidak tepat mereka dikirim ke barak-barak militer, karena bukan tempatnya. Prajurit di situ benar, pertahanan di situ benar, pelatihan benar di situ, tapi anak-anak ini tidak di situ,” kata dia.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik setelah mengirim siswa bermasalah ke barak TNI.
Siswa SMP dan SMA sederajat ditempatkan di dua barak, yakni Depo Pendidikan (Dodik) Bela Negara Rindam III Siliwangi, Kabupaten Bandung, dan di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalion Armed 9, Kabupaten Purwakarta.
Kebijakan tersebut menuai banyak kritikan pro dan kontra dari berbagai pihak, bahkan dilaporkan oleh salah satu wali murid ke Komnas HAM.
Meskipun begitu, Dedi diketahui tak bergeming dan tetap melanjutkan programnya.
Al Araf menjelaskan, sekolah memiliki kurikulum tersendiri dalam mendidik siswa-siswa berkelakuan buruk, misalnya dengan pengajaran guru bimbingan konseling (BK), serta pembinaan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, olahraga, dan rekreasi.
“(Cocoknya) ke ruang pendidikan yang memang membangun aspek kognitif untuk mengubah karakter seseorang menjadi karakter yang benar-benar menerima perbedaan, perubahan, membangun keberagaman, kedisiplinan, itu ada di ruang sekolah,” kata dia.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa kedisiplinan merupakan bagian dari aspek kognitif yang bisa diperoleh dalam sistem pendidikan di sekolah maupun di lingkungan keluarga.
“Siapa yang bisa membangun itu? Sistem pendidikan dari SD, SMP, SMA. Maka harus dikembalikan ke ruang pendidikan,” ujarnya.
“Kedua, ke ruang keluarga. Karena bagaimanapun keluarga menjadi pertahanan paling awal buat anak. Dan saya percaya orang tua punya cara, punya langkah mendidik mereka,” imbuhnya.
Peneliti senior Imparsial itu berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut dan mempercayakan pendidikan bagi anak ke pihak sekolah.
“Kalau ada problem di sekolah terkait anak nakal, yang disalahkan pertama Kementerian Pendidikan, bagaimana sikapnya?” kata dia.
“Kalau dunia pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan, tidak perlu lagi barak-barak militer. Sistem pendidikan ini harus dibangun dengan lebih baik,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah