PROTIMES.CO – Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia, K. Johnson Rajagukguk menyebut unjuk rasa yang merebak di sejumlah kota memang sudah mulai mereda. Namun, tidak ada yang bisa memastikan bahwa gelombang protes serupa tidak akan kembali terjadi di waktu mendatang.
Hal ini disebakan oleh salah satu tuntutan yang disuarakan para demonstran sesungguhnya adalah problem klasik tata kelola pemerintahan Indonesia yang selama puluhan tahun tidak kunjung tuntas, yakni fragmentasi dalam pengelolaan keuangan negara.
“Selama ini sistem keuangan kita masih berbasis kelembagaan. Setiap kementerian, badan, hingga daerah mengelola anggarannya dengan cara berbeda. Bahkan standar akuntansinya pun bisa berlainan. Hasilnya, negara tidak memiliki satu sistem keuangan yang seragam. Akibatnya, sistem keuangan jadi tumpang tindih, boros, dan rawan disalahgunakan,” tegas Johnson di Jakarta, Kamis (4/9/25).
Johnson mengingatkan realitas di lapangan menunjukkan betapa seriusnya masalah fragmentasi ini. Hingga kini, pemerintah pusat dan daerah masih memakai berbagai aplikasi berbeda untuk mengelola keuangan. Kementerian Keuangan sudah mengembangkan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) untuk kementerian dan lembaga.
Tetapi, pemerintah daerah tetap menggunakan aplikasi buatan masing-masing. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada lebih dari 500 aplikasi keuangan daerah yang berbeda format dan prosedurnya.
Pada tahun 2023, misalnya, BPK menemukan sejumlah pemerintah provinsi terlambat menyampaikan laporan hibah. Bahkan ada yang mencatat dana hibah tidak sesuai standar Kementerian Keuangan, sehingga miliaran rupiah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Semua ini terjadi karena sistem pelaporan tidak seragam.
“Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa punya laporan keuangan negara yang akurat kalau daerah menggunakan ratusan aplikasi yang berbeda satu sama lain?
Setiap tahun BPK mencatat perbedaan data, bahkan temuan ketidaksesuaian pencatatan hibah di beberapa daerah mencapai miliaran rupiah,” katanya.
Persoalan tidak hanya terjadi di eksekutif. DPR pun punya masalah serupa, bahkan lebih krusial. Hingga kini, mekanisme pertanggungjawaban perjalanan dinas dan dana aspirasi anggota dewan masih menggunakan sistem lumpsum. Artinya, uang perjalanan diberikan sekaligus tanpa harus merinci penggunaan sebenarnya. Dengan sistem lumpsum penggunaan keuangan sukar diaudit.
“Pola lumpsum adalah cermin lemahnya akuntabilitas politik DPR. Bagaimana rakyat bisa percaya pada wakilnya, jika mereka sendiri enggan beralih ke sistem yang transparan berbasis bukti nyata?
Lumpsum seharusnya dihapus. Pertanggungjawaban anggaran harus evidence based dengan bukti elektronik, bukan sekadar klaim diatas kertas,” tandas Johnson.
Pewarta: Khairul
Editor: Reza
Be First to Comment