PROTIMES.CO — Ketua Umum Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI), Gigih Gaesang, menegaskan bahwa program experiential learning di Indonesia adalah bagian dari industri pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM), meskipun banyak bentuk kegiatannya bersinggungan langsung dengan sektor pariwisata.
“Secara industrinya, kita bicara tentang pengembangan kapasitas SDM. Tapi bentuk produknya kerap masuk ke pariwisata, seperti outing, gathering, team building, sampai study tour,” jelas Gigih.
Hal ini menyebabkan banyak program experiential learning disalahpahami sebagai kegiatan wisata semata.
Menurut Gigih, kegiatan seperti outbound, fun games, hingga adventure training seharusnya dimaknai sebagai bagian dari pelatihan berbasis pengalaman untuk peningkatan kompetensi, bukan hiburan.
“Kita tidak hanya bicara senang-senang. Ada transfer nilai, semangat, kerja sama, motivasi yang dibangun dalam setiap kegiatan,” ujarnya.
AELI juga memiliki program pelatihan dan sertifikasi berbasis Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk memastikan kualitas fasilitator dan experiential learning provider di Indonesia.
“Kami sudah punya SKKNI sejak lebih dari 10 tahun lalu dan terus diperbarui,” kata Gigih.
Ia menyebut bahwa experiential learning tidak bisa disamakan dengan kegiatan tur biasa, karena tujuan utamanya adalah transformasi perilaku dan peningkatan kapasitas personal maupun tim.
Akan tetapi, sayangnya, masyarakat kerap lebih memilih program yang lebih murah tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.
“Kita ingin menegaskan bahwa meski berbentuk tour, camp, atau outing, tujuannya tetap pengembangan SDM. Harus ada standar, fasilitator kompeten, dan learning outcome yang jelas,” tambahnya.
AELI pun terus mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk menempatkan experiential learning dalam kerangka pembangunan SDM nasional yang lebih strategis dan tidak dipinggirkan sebagai sekadar aktivitas wisata atau rekreasi.
Pewarta: Dzakwan
Editor: Khopipah
Be First to Comment