PROTIMES.CO — Dana program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026 yang mencapai Rp335 triliun menyulut kritik dari berbagai kalangan.
Sebelumnya dikabarkan bahwa program ini akan mencaplok anggaran pendidikan hingga 44% alias hampir separuhnya.
Belakangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani merevisi dan menegaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan yang digunakan untuk MBG adalah Rp223,6 triliun, bukan semuanya (Rp335 triliun).
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan pemerintah tersebut. Mereka menilai anggaran pendidikan seharusnya tidak boleh dibebani atau menanggung biaya MBG sepeser pun.
Jika dihitung, MBG masih sangat bergantung dengan dana pendidikan. Bahkan bila anggaran MBG yang bersumber dari dana pendidikan adalah Rp223,6 triliun, berarti mayoritas (67%) anggaran MBG masih tergantung pada anggaran pendidikan.
“Ini artinya, program MBG akan merusak kualitas pendidikan dan membelokkan peta jalan pendidikan nasional,” ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji di Jakarta, Senin (25/8/2025).
“Kita masih punya masalah banyak di dunia pendidikan, mulai dari jutaan anak yang masih tidak sekolah, kualitas guru yang masih buruk dan kesejahteraannya yang memperihatinkan, serta ketersediaan sekolah dan daya tampung yang masih kurang. Masalah ini sampai kapan akan dibiarkan atau memang sengaja dipelihara?” lanjutnya.
Menurut JPPI, ada tiga alasan utama program MBG tidak boleh menggunakan anggaran pendidikan.
Anggaran pendidikan sudah minim untuk kebutuhan pokok
Anggaran pendidikan yang sebesar 20% dari APBN selama ini masih belum dialokasikan dengan benar, yang menyebabkan masih kurang untuk membiayai kebutuhan dasar.
“Contoh, Kemendikdasmen membuat program Wajib Belajar 13 Tahun, pembiayaannya bagaimana? Ini masih menjadi masalah yang belum terpecahkan,” ujar JPPI.
“Jangan sampai seperti periode lalu, pemerintah mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun, program pun sudah berjalan lebih dari 10 tahun, tetapi capaian rata-rata lama sekolah anak Indonesia masih 9 tahun.
“Itu baru potret satu program. Belum lagi masalah peningkatan kualitas dan kesejahteraaan guru, sarana-prasarana sekolah, dan peningkatan kualitas pembelajaran,” lanjutnya.
MBG bukan fungsi pendidikan, melainkan fungsi kesehatan dan perlindungan sosial
JPPI menilai program MBG lebih tepat dikategorikan sebagai program gizi dan perlindungan sosial, bukan program inti pendidikan.
Oleh sebab itu, MBG seharusnya dibiayai oleh pos anggaran kesehatan, perlindungan sosial, atau ketahanan pangan.
“Menggunakan anggaran pendidikan untuk MBG akan mengaburkan prioritas dan mandat konstitusional anggaran pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tutur JPPI.
Risiko Pengurangan Kualitas dan Akses Pendidikan
JPPI mengatakan, jika MBG membebani anggaran pendidikan, maka akan muncul konsekuensi penurunan kualitas dan akses pendidikan. Ini pasti akan terjadi secara otomatis.
“Soal akses misalnya, bagaimana nasib keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sekolah tanpa dipungut biaya? Sampai hari ini masih terkatung-katung, tanpa ada keberpihakan dari anggaran pendidikan,” tutur JPPI.
Jika persoalan akses ini tidak diselesaikan, sebut JPPI, maka jutaan anak putus sekolah bisa terus bertambah.
Sementara terkait kualitas, Indonesia disebut menghadapi problem serius tentang mutu guru yang masih di bawah standar dan juga kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah semakin melebar.
“Jadi menggunakan anggaran pendidikan untuk MBG justru dapat mengorbankan masa depan pendidikan anak-anak itu sendiri,” pungkas Ubaid.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah
Be First to Comment