Press "Enter" to skip to content

Haidar Alwi: Pelibatan PPATK dalam Deteksi Anomali Bansos adalah Terobosan Berani Pemerintahan Prabowo

Ilustrasi. (Foto: DBS SME Banking)

PROTIMES.CO – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memeriksa data penerima bantuan sosial (bansos) merupakan langkah berani yang patut diapresiasi.

Ia menegaskan bahwa pengungkapan adanya ribuan pegawai BUMN, dokter, hingga manajer yang ternyata tercatat sebagai penerima bansos, adalah bukti bahwa integrasi data lintas lembaga mulai berjalan lebih efektif.

Menurut Haidar Alwi, temuan PPATK pada 7 Agustus 2025 ini bukan hanya hasil kerja teknis semata, tetapi juga memiliki dimensi politik yang jelas.

“Kita bicara soal data, yang sebagian besar adalah warisan lama. Begitu PPATK dilibatkan, semua anomali yang sebelumnya tersembunyi langsung terlihat,” ujar Haidar Alwi.

Diketahui PPATK mencatat, ada 1,7 juta rekening yang tidak terverifikasi dari total sekitar 10 juta penerima bansos. Sementara itu, di antara penerima yang terverifikasi pun ditemukan 27.932 pegawai BUMN, 7.479 dokter, dan lebih dari 6.000 eksekutif atau manajer.

Fakta ini memunculkan pertanyaan: mengapa kondisi seperti ini baru terdeteksi sekarang?

Haidar Alwi memaparkan bahwa selama ini proses validasi bansos lebih fokus pada kelengkapan administrasi, bukan kelayakan ekonomi. Data di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) di-update secara manual dan lambat.

“Kalau seseorang sudah masuk daftar, dia bisa terus menerima bansos meski kondisi ekonominya sudah jauh membaik. Tidak ada cross-check otomatis dengan data penghasilan, pajak, atau status kepegawaian,” ungkap Haidar Alwi.

Keterlibatan PPATK menjadi kunci pembeda. Sebelumnya, lembaga ini memang tidak dilibatkan secara khusus dalam urusan bansos.

PPATK biasanya berfokus pada pencucian uang, pendanaan terorisme, atau kasus korupsi. Baru di era Prabowo Subianto, PPATK diminta memeriksa pola transaksi rekening penerima bansos, sehingga penerima yang memiliki penghasilan tetap dari BUMN atau perusahaan besar langsung teridentifikasi.

Haidar Alwi juga menyinggung bahwa PPATK bukan lembaga tanpa kontroversi. Isu mengenai kewenangan mereka dalam memblokir rekening tanpa proses pengadilan masih menjadi perdebatan publik. Akan tetapi, dalam konteks bansos, ia menilai pelibatan PPATK adalah langkah tepat.

“Memang ada kontroversi terkait blokir rekening yang pernah menjadi perbincangan. Tapi dalam kasus ini, PPATK justru memberi nilai tambah. Mereka punya kemampuan analisis pola transaksi yang tidak dimiliki Kemensos. Begitu data lintas kementerian dan lembaga disinkronkan, ketidakwajaran langsung terlihat,” jelas Haidar Alwi.

Ia menambahkan, efek politiknya pun jelas. Pemerintah kini dapat menunjukkan komitmen membenahi sistem warisan yang lemah.

“Saya melihat ini adalah upaya menutup celah yang selama ini merugikan negara dan mengurangi efektivitas bantuan,” tegas Haidar Alwi.

Menurut Haidar Alwi, masalah ini bisa dipetakan ke dalam empat simpul besar, yaitu pendataan awal di desa/kelurahan yang lemah, integrasi data antarlembaga yang belum optimal, kontrol pencairan yang nyaris nol, dan deteksi anomali yang selama ini dilakukan terlambat.

“Pendataan di lapangan seringkali tidak di-update. Orang yang sudah mapan tetap tercatat sebagai penerima. Dinas sosial di daerah jarang melakukan verifikasi silang dengan data pajak atau kepegawaian. Kemensos pun belum sepenuhnya memanfaatkan integrasi data real-time. Hasilnya, bank hanya menyalurkan dana sesuai daftar, tanpa filter tambahan,” papar Haidar Alwi.

Pewarta: Khairul

Editor: Khopipah

Be First to Comment

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *