PROTIMES.CO – Pementasan “Wayang Orang Gatotkaca, Ksatria dari Pringgondani” yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta menjadi panggung emosional dan dedikasi mendalam dari para seniman ternama seperti Ira Wibowo, Dewi Gita, dan Maudy Koesnaedi.
Pertunjukan ini tak hanya menghidupkan kembali warisan budaya Jawa, tetapi juga menjadi ruang refleksi dan persembahan pribadi bagi para pelakunya.
Ira Wibowo, yang memerankan Pergiwo, tampil menyentuh dengan energi emosional yang dalam. Sebelum pementasan berlangsung, ia menyempatkan diri untuk nyekar ke makam ayahnya.
“Saya mempersembahkan pagelaran Gatotkaca Ksatria Dari Pringgondani bagi almarhum papa saya yang dulu sering menari menjadi Gatotkaca,” ungkapnya.
Kehadiran ketiga anak, menantu, dan ibu sambungnya di antara penonton menjadi dukungan moral bagi Ira.
“Melihat penonton terhibur adalah kebahagiaan luar biasa, apalagi setelah latihan intensif selama tiga setengah bulan,” tambahnya.
Dewi Gita, yang bertugas sebagai narator, menghadapi tantangan tersendiri karena harus menembang dalam bahasa Jawa.
“Saya harus berlatih keras karena logat Sunda saya sangat kental. Tapi saya senang dipercaya kembali oleh Gending Enem,” katanya.
Ia memuji semangat para seniman yang tetap menjaga budaya di tengah kesibukan masing-masing.
Maudy Koesnaedi, meskipun kini berdomisili di Bali, tak mengurangi komitmennya.
“Saya banyak berlatih sendiri, tapi hadir dalam latihan bersama dan gladi resik karena sudah menjadi komitmen saya untuk pelestarian budaya,” ujarnya usai tampil sebagai Kunti.
Generasi muda turut mencuri perhatian. Mikail (16) dan Dimas (12) yang memerankan Gatotkaca remaja dan kecil tampil meyakinkan, menunjukkan bahwa minat pada budaya tidak padam di kalangan anak muda.
Kolaborasi lintas usia dan profesi dalam pertunjukan ini membentuk energi kolektif yang kuat. Gending Enem, komunitas penggiat budaya pendukung utama acara, menggandeng Wayang Orang Bharata dan membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin terlibat.
Penonton pun tak kuasa menahan kekaguman.
“Pertunjukan ini begitu hidup,” kata salah satu penonton bernama Astari.
“Saya sangat menikmati ceritanya, ada lucu, ada sedih, dan juga heroik,” ujar penonton lain yang bernama Tita.
Pertunjukan ini membuktikan bahwa panggung tradisi bisa menjadi wahana personal dan kolektif yang menyentuh, menghibur, sekaligus mendidik lintas generasi.
Pewarta: Dzakwan
Editor: Khopipah
Be First to Comment