Desakan In Absentia Soeharto Menguat, Korban 65 Ungkap Derita Masa Lalu

Bedjo menyebut tragedi 1965 sebagai biang dari kejahatan kemanusiaan terbesar yang dilakukan Soeharto. Ia juga menyebut Soeharto sebagai pengkhianat bangsa.

PROTIMES.CO – Bedjo Untung, korban selamat dari tragedi 1965, mendesak pengadilan hak asasi manusia segera dibentuk agar presiden kedua Indonesia, Soeharto, bisa diadili secara in absentia. Ini disampaikannya dalam pertemuan dengan Menteri Sosial Saifullah Yusuf, didampingi Koordinator KontraS Yanti Andriyani.

“Kalau tidak bisa diadili karena sudah meninggal, bisa secara in absensia. Buktinya banyak,” ujar Bedjo.

Bedjo menggambarkan penderitaan panjang yang dialami para korban. Ia sendiri dipenjara selama sembilan tahun dan mengalami pembuangan paksa ke berbagai tempat.

“Teman saya ada yang dibuang ke Buloburu, ada yang di Aceh, Sumatera Barat, Palembang. Mereka semua mengalami kerja paksa,” ungkapnya.

Ia menyebut tragedi 1965 sebagai biang dari kejahatan kemanusiaan terbesar yang dilakukan Soeharto. “Harus ada pengadilan supaya tidak setiap lima tahun ada usulan Soeharto jadi pahlawan,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Bedjo juga menyebut Soeharto sebagai pengkhianat bangsa. Menurutnya, SP 11 Maret yang dikeluarkan Soekarno bukan untuk membubarkan partai atau menangkap menteri. Akan tetapi, Soeharto saat itu malah menangkap orang-orang yang tidak berdosa.

Ia juga mengkritik keras wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. “Soeharto adalah Hitler-nya Indonesia,” ujar Bedjo.

Menurutnya, pengusulan gelar pahlawan bagi Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan korban kekejaman masa lalu. Hal ini, katanya, justru mempermalukan bangsa Indonesia di mata dunia.

Pewarta: Dzakwan

Editor: Khopipah

Scroll to Top