PROTIMES.CO – Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, mengaku prihatin terhadap kasus penangkapan Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar.
Diketahui Kejaksaan menuduh Tian Bahtiar menyebarkan narasi negatif terkait penyidikan Kejaksaan Agung dalam sejumlah perkara korupsi.
Hendry mengatakan kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik pers, bukan langsung ditangkap atau dikriminalisasi.
“Menurut saya, berita itu masuk ranah etik, seberapa parah pun isinya. Kalau dianggap beritikad buruk, ya diberi hak jawab atau diminta minta maaf. Jika perlu, bisa dimintakan penilaian ke Dewan Pers. Bukan langsung ditangkap,” kata Hendry di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Pernyataan Hendry merespons penjelasan Kejaksaan Agung seperti dimuat di media yang menyebut Tian Bahtiar menerima bayaran sebesar Rp478 juta untuk menyebarkan opini yang dinilai menyudutkan Kejagung terkait tiga perkara besar: korupsi timah, ekspor CPO, dan importasi gula.
Wakil Ketua Dewan Pers 2019–2022 ini menegaskan bahwa Kejaksaan Agung tidak memiliki kompetensi menilai suatu karya jurnalistik.
Menurutnya, lembaga yang berwenang untuk itu adalah Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.
“Penilaian terhadap berita, apakah itu negatif, beritikad buruk, atau partisan, ada di tangan Dewan Pers. Bukan lembaga lain,” tegas Hendry.
Ia juga mengingatkan bahwa, antara Dewan Pers dan Polri, telah ada nota kesepahaman (MoU) bahkan diperkuat dengan perjanjian kerja sama (PKS), yang menyepakati bahwa Dewan Pers harus terlebih dahulu dimintai pendapat jika ada pihak yang ingin mempidanakan karya jurnalistik.
“MoU dan PKS ini mengikat semua pihak. Kejaksaan Agung seharusnya menghormatinya, bukan langsung menahan wartawan tanpa melibatkan Dewan Pers,” ujar Hendry.
Terkait tuduhan adanya bayaran yang masuk ke rekening pribadi Tian Bahtiar, Hendry menyatakan bahwa hal itu seharusnya terlebih dahulu diklarifikasi kepada manajemen media tempatnya bekerja.
Jika terbukti menyimpang, maka sanksi administratif bisa dijatuhkan oleh atasannya, misalnya berupa skorsing.
“Kalau berita dianggap obstruction of justice, itu penilaian yang keliru. Pers punya hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Kalau pun ada itikad buruk, harus dibuktikan melalui mekanisme etik, bukan langsung diproses pidana,” jelasnya.
Hendry menegaskan bahwa jika pendekatan semacam ini terus dilakukan, akan ada risiko kriminalisasi terhadap pers.
“Lama-lama kejaksaan bisa baca berita satu per satu, lalu menyimpulkan sendiri dan menjadikan wartawan tersangka,” ujarnya.
Hendry berharap Kejaksaan Agung bersikap bijak. “PWI Pusat berharap Kejaksaan Agung menghargai UU Pers, yang seperti disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung ke PWI, merupakan bagian penting dari demokrasi yang kita anut,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah