PROTIMES.CO – Komisi II DPR RI sesalkan belum mampunya kebijakan otonomi daerah yang telah berlangsung selama ini dalam mengangkat pertumbuhan ekonomi daerah.
Situasi tersebut mengakibatkan investasi yang masuk ke daerah belum bisa maju pesat dan banyak kegiatan usaha yang pada akhirnya bergantung pada dana transfer daerah daripada perputaran ekonomi dari sektor swasta.
Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan mengatakan, membangun daerah melalui kebijakan desentralisasi sejatinya membutuhkan kebaharuan dalam kebijakan.
Dia menjelaskan, pada dasarnya, semua pihak mengetahui bahwa daerah terutama daerah otonomi baru masih sulit tumbuh karena sempitnya ruang gerak daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Hal ini lantaran lebih banyak mengandalkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai penggerak fiskal di daerahnya.
“Saya sih berharap desain strategi penataan daerah kita itu, ada semacam the new autonomy playbook gitu. Jadi sesuatu yang memang ada unsur kebaharuan,” kata Ahmad Irawan dalam rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Irawan menjelaskan, sejak awal pasca reformasi, kebijakan otonomi daerah ini digulirkan sebagai upaya desentralisasi politik dan administrasi kebijakan.
Ada kewenangan yang dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, yang salah satunya pemerintah daerah bisa memilih pemimpinnya sendiri.
Namun demikian, politisi muda Fraksi Golkar ini menemukan satu kelemahan dan kekurangan dalam kebijakan pemekaran daerah yang selama ini ditempuh, kaitan dengan desentralisasi ekonomi negara.
Sayangnya, kekurangan ini belum mampu dipotret oleh Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri dalam desain dalam desain strategi pemekaran daerah.
“Yang memang kita nggak mungkin bisa memekarkan daerah kembali hanya karena misalnya pertimbangan kemampuan fiskal. Karena kemampuan fiskal kita kan PAD (Pendapatan Asli Daerah) ditambah dana transfer, Pak. Kan sebenarnya itu saja (sumber dana daerah),” katanya.
Menurut Irawan, bicara mengenai otonomi daerah, rata-rata 20-30 persen bahkan 50 persen dana APBD-nya hanya digunakan untuk belanja operasional daerahnya.
Kondisi itu pula yang seringkali membuat daerah sulit bahkan terbebani. Bahkan beban belanja operasional yang terlalu tinggi ini membuat daerah induk saja sudah bangkrut.
“Bayar pegawai aja nggak bisa. Jadi bagaimana mungkin kita bisa bicara pemekaran daerah?” katanya.
Oleh karena itu, dia menilai bahwa otonomi daerah tidak sekadar sampai pada rekomendasi apakah moratorium pemekaran daerah dicabut atau tidak. Atau sebaliknya, pemekaran dilakukan kembali atau dihentikan.
Sebab, bicara otonomi daerah, pemekaran daerah, sangat terkait dengan kepentingan politik hibrida. Begitu juga di dalamnya ada akomodasi kepentingan politik, termasuk kepentingan fungsional dan lain-lain.
“Sehingga kita juga di DPR, di Komisi II juga sering memiliki pandangan, termasuk saya, bahwa pemekaran daerah ini tetap penting. Tetapi harus dibarengi dengan desentralisasi ekonomi tadi itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Irawan mengatakan, China termasuk daerah yang terbilang sukses membangun daerahnya melalui kebijakan pemekaran daerah.
Berbicara terkait easy doing business atau kemudahan berusaha, katanya, China dan Indonesia sama saja secara global.
Di tahun 2018, indeks kemudahan berusaha China berada di peringkat 82, sementara Indonesia berada di urutan 73.
“Jadi masih barenglah. Tapi mereka (China) mampu membangun satu konsep desentralisasi itu diiringi dengan desentralisasi ekonomi tadi itu. Jadi sentralisasi politiknya, pemerintah pusat mengontrol politiknya. Tapi pemerintah lokalnya, daerah-daerah ini, itu menjalankan bisnis dan ekonominya. Kalau kita belum sampai ke sana,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Irawan tidak heran China mampu membangun dan menggerakkan investasi bahkan bisa memiliki hingga 20 juta perusahaan swasta di daerahnya.
Kondisi ini bertolak belakang dengan Indonesia yang lebih banyak mengandalkan APBN-APBD.
“Kalau kita kan di pusat-pusat (perputaran ekonominya). Pengusaha lokal kita banyak menunggu dana transfer. Jadi kontraktor, macam-macam. Kenapa? Karena semua bisnis, investor, karena pemerintah pusat mengurus hubungan luar negeri itu diatur semua oleh pemerintah pusat, dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang sebelumnya badan jadi kementerian. Padahal harusnya di daerah,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia meminta Dirjen Otoda Kemendagri juga dapat berfokus pada upaya mendorong ekonomi di daerah.
Dia menuturkan, tugas Kemendagri untuk urusan politik di daerah sudah tuntas. Hal ini bisa dilihat dari suksesnya penyelenggaraan Pemilu Serentak, mulai dari Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif hingga Pemilu Kepala Daerah.
“Sebagai Dirjen Otonomi Daerah, Bapak dari awal Otonomi Daerah sampai sekarang, masih bicara kemampuan fiskal daerah. Makanya saya selalu berusaha mendorong bagaimana kita bicara mengenai BUMD kita bisa lebih bagus. Sebenarnya ini (otonomi daerah di China) bisa menjadi contoh, Pak. Sehingga, ke depan, otonomi daerah kita ini, strategi penataan daerah kita, itu sudah berbicara urbanisasi, inovasi. Jadi kita bergerak maju gitu loh,” harapnya.
Karena itu, dia meminta, dalam desain kebijakan otonomi daerah di Kemendagri, pemekaran daerah tidak dipandang sebagai kebijakan terakhir dalam mendorong ekonomi negara.
Kemendagri harus menyadari bahwa setiap daerah memiliki faktor dan variabel yang berbeda-beda. Sehingga, jika ada yang prioritas dan urgen untuk dilakukan pemekaran, itu bisa dilakukan.
“Misalnya, yang sebelumnya DOB (Daerah Otonomi Baru) di Papua dianggap urgen, ya dilakukan. Jadi moratorium itu tidak hanya bersifat selektif dan ketat, tapi juga tahu mana yang prioritas untuk kita lakukan penataan daerah,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah