PROTIMES.CO – Hari Minggu kerap dipuja sebagai hari paling damai dalam sepekan. Jalanan lebih lengang, ritme hidup melambat, dan agenda kerja menghilang. Namun di balik suasana santai itu, ada satu hal yang justru semakin gaduh dompet masyarakat urban.
Fenomena “Minggu boros” kini menjadi pola gaya hidup baru. Bukan belanja besar atau transaksi mencolok, melainkan pengeluaran kecil yang terjadi berulang, kopi susu kekinian, parkir mahal, jajan impulsif, hingga promo akhir pekan yang terasa sayang untuk dilewatkan.
Tanpa disadari, saldo terkuras di hari yang disebut sebagai waktu istirahat. Ironisnya, semua itu kerap dibungkus satu kata pembenaran yakni healing.

Nongkrong disebut perawatan mental, belanja dianggap hadiah diri, dan checkout impulsif dilegalkan atas nama kebahagiaan. Padahal, yang benar-benar kelelahan bukan pikiran, melainkan keuangan pribadi yang terus dipaksa berkompromi.
Gaya hidup digital turut memperparah situasi. Auto-debet langganan streaming, aplikasi, dan layanan daring tetap berjalan meski aktivitas minim. Sementara promo akhir pekan dirancang agresif, memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat yang sedang ingin “memanjakan diri” setelah rutinitas padat.

Di media sosial, keluhan ini ramai diakui warganet. Banyak yang mengaku lebih sering kehabisan uang di hari Minggu ketimbang hari kerja. Bukan karena kebutuhan mendesak, tetapi karena kebiasaan konsumsi tanpa kontrol.
Fenomena ini menjadi cermin gaya hidup urban masa kini, tenang di permukaan, rapuh di perencanaan finansial. Hari libur yang seharusnya menjadi jeda, justru berubah menjadi ladang pengeluaran emosional.

Mungkin sudah saatnya publik bertanya, apakah benar kita sedang menyembuhkan diri, atau hanya menunda rasa bersalah dengan gesekan kartu dan QR? Karena jika setiap Minggu dompet terus menjerit, bisa jadi masalahnya bukan pada hari libur, melainkan pada cara kita mendefinisikan bahagia.
Penulis: Nurlela Cynthia
Editor: Aris Darmawan







Be First to Comment