PROTIMES.CO – Pengelolaan sampah berbasis RW menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi krisis sampah di Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel).
Oleh sebab itu, kasus korupsi dana pengelolaan sampah di kawasan tersebut harus diusut tuntas dan tidak membiarkan pihak-pihak yang terlibat lolos dari jeratan hukum.
“Harus dicari aktor intelektual di belakang kasus ini siapa. Karena menurut kami, kasus, katakanlah senilai 50 sampai 75 miliar, tidak mungkin hanya dilakukan oleh Kadis dan Kabid. Pasti banyak yang terlibat di sini. Jadi harus dikupas tuntas,” kata Korwil Forum Peduli Sampah Seluruh Indonesia (Forpasi) Tangsel, Sigit Priambodo, di Pamulang, Jumat (25/4/2025).
Dia meyakini banyak pihak yang turut menikmati dana korupsi tersebut namun hingga saat ini belum tersentuh hukum.
Seperti yang ramai diberitakan media, Kejaksaan Tinggi Banten kini sedang melakukan penyidikan kasus korupsi proyek pengelolaan sampah Tangsel, yakni jasa pengangkutan sampah senilai Rp50.723.200.000 dan jasa pengelolaan sampah sebesar Rp25.217.500.000.
Sejauh ini sudah ada empat tersangka yang ditahan, yakni Kadis Lingkungan Hidup Pemkot Tangsel Wahyunoto Lukman, Kabid Kebersihan TB Apriliadhi, mantan staf di Dinas Lingkungan Hidup Zeky Yamani, dan Direktur PT Ela Pertama Perkasa (EPP) Sukron Yuliadi Mufti.
Kasus korupsi itu semakin santer menjadi perbincangan publik karena belakangan ini terjadi “krisis sampah” di Tangsel.
Banyak warga yang mengeluh karena merasa terganggu oleh bau sampah. Sampah di TPS menggunung karena sudah cukup lama tak diangkut ke tempat pemrosesan akhir (TPA). Gundukan sampah juga tampak di pasar-pasar.
Diperoleh informasi bahwa saat ini pengangkutan sampah ke TPA Cipeucang terkendala karena TPA tersebut nyaris overload. Padahal, produksi sampah di Tangsel mencapai lebih dari 1.000 ton per hari.
Terkait hal itu, Sigit Priambodo mengatakan harus ada revolusi dalam pengelolaan sampah. Lahan tempat pemrosesan akhir (TPA) Cipeucang terbatas, sehingga perlu terobosan untuk menangani sampah warga.
Mas Pri, sapaan Sigit Primabodo, berpendapat, semestinya sampah rumah tangga sudah tertangani di tingkat Rukun Warga (RW). Dengan demikian, hanya sampah residu, yang jumlahnya kecil, yang diangkut ke TPA.
“Harus diubah, revolusi mental habis-habisan. Sampah itu harus habis (tertangani) di level RW. Jadi RW, lurah/kepala desa, dan camat harus bertanggung jawab penuh atas persampahan di wilayahnya,” jelasnya.
“Kalau bisa itu (penanganan sampah) menjadi key performance indicator (KPI) lurah dan camat untuk promosi jabatan. Problem sampah ini harus benar-benar diselesaikan,” sambungnya.
Penanganan sampah berbasis RW, menurut Mas Pri, merupakan kunci keberhasilan untuk mengatasi krisis sampah di Tangsel.
“Yang harus kita atur adalah reduce, mengurangi asupan sampah yang masuk ke TPA. Ini kan yang belum kita lakukan. Nah, makanya kita harus libatkan RW, kelurahan, kecamatan,” katanya.
Untuk menjalankannya, tambah Mas Pri, Pemerintah Provinsi Banten harus memberi dukungan penuh, termasuk menyusun tata kelola sampah yang baru.
“Harus ada supporting system dari Pemprov. Harus diperbaiki tata kelolanya. Bila perlu anggaran sampah dibagi ke mereka (camat),” katanya.
Mas Pri berpandangan para pegiat lingkungan sebaiknya dilibatkan, terutama dalam pengawasan pengelolaan sampah.
“Selama ini Dinas Lingkungan Hidup merangkap sebagai operator, regulator, dan monitoring, sehingga rawan terjadi korupsi,” katanya.
Pewarta: Faisal
Editor: Khopipah