PROTIMES.CO – Aksi penyelenggara pinjaman online (pinjol) nakal yang menjerat para perempuan sebagai korban memicu kegeraman banyak kalangan.
Anggota Komisi XI DPR RI Anna Mu’awanah mendesak pemerintah mencabut izin penyelenggara pinjol nakal yang terbukti menjerat nasabah dengan cara ilegal.
“Perempuan dengan keterbatasan ekonomi kerap menjadikan pinjol sebagai solusi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya pilihan itu menjadikan mereka rentan menjadi korban kekerasan. Kami desak pemerintah untuk mencabut izin pinjol nakal agar tidak semakin banyak perempuan yang terjerat pinjol,” ujar Anna–sapaan akrab Anna Mu’awanah, Selasa (29/4/2025).
Sejak 2018 hingga 2024, LBH Jakarta menerima 1.944 pengaduan dari para korban pinjol di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan luar Jabodetabek.
Sebagian besar korbannya adalah perempuan, yakni sebanyak 1.208 orang (62,14%). Perempuan yang menjadi korban jeratan pinjol kerap mengalami pelanggaran privasi dan kekerasan.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Negara harus hadir untuk memastikan pinjol nakal ini tidak semakin merajalela. Jangan biarkan pinjol nakal ini dengan mudah mencari korban dan menjerat para korban yang minim literasi keuangan,” kata politisi dari PKB itu.
Anna mengatakan pinjol diatur lewat Peraturan Obligasi Jasa Keuangan (OJK) nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
Hingga kini terdapat 96 perusahaan pinjaman online yang mendapat izin dari OJK. Jumlah ini tetap samar sejak 29 Oktober 2024.
Berdasarkan data OJK, total saldo pembiayaan pinjaman online perorangan yang legal pada Januari 2025 mencapai Rp73,9 triliun atau tumbuh 29,94 persen secara tahunan.
Berdasarkan jenis kelamin, porsi pinjaman oleh perempuan mencapai 53,75 persen dari total saldo pinjaman atau Rp39,76 triliun.
Anna mengungkapkan pinjol kerap dipilih karena persyaratan dan proses mudah. Selain itu pencairan pinjol tidak memakan waktu lama.
Masalahnya, sebagian dari mereka tidak menjelaskan secara transparan terkait besaran bunga dan ragam pinalti jika nasabah gagal mengangsur.
“Apalagi cara penagihan yang menggunakan teror dan intimidasi sehingga kerap membuat korban menjadi tertekan secara psikologis,” urainya.
Dia menilai OJK harus meningkatkan literasi keuangan terutama kepada para perempuan. Selain itu, akses perempuan yang menjadi kepala keluarga untuk mendapatkan permodalan juga harus dipermudah.
“Literasi keuangan kepada perempuan harus ditingkatkan agar perempuan tak mudah terjerat pinjol. Harus ada peran pemerintah dalam meningkatkan literasi keuangan ini dan dilakukan secara berkelanjutan dan menyasar perempuan di berbagai kalangan dari kota hingga pedesaan,” katanya lagi.
OJK, lanjut Anna, butuh meningkatkan perlindungan kepada pengguna pinjol khususnya para perempuan. Hal ini sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan KOnsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
“Jadi selain meningkatkan literasi keuangan kepada perempuan, peningkatan perlindungan kepada perempuan juga sangat dibutuhkan untuk meminimalisir dampak negatif penggunaan pinjol yang dilakukan oleh perempuan,” pungkasnya.
Pewarta: Khairul
Editor: Khopipah