PROTIMES.CO – Kementerian Hak Asasi Manusia memberikan klarifikasi atas laporan The Economist Intelligence Unit tahun 2024 yang menyebut adanya penurunan indeks demokrasi di Indonesia.
Menurut Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, hal itu tidak serta-merta disebabkan oleh kebijakan pemerintahan saat ini, melainkan dipengaruhi oleh regulasi-regulasi yang telah berlaku sejak tahun 2015.
Dalam keterangannya, Pigai menegaskan bahwa tuduhan terhadap pemerintah soal memburuknya demokrasi dianggap berlebihan dan insinuatif.
“Tuduhan-tuduhan itu kejam, berlebihan, tidak beralasan, insinuatif,” ujarnya.
Ia menilai pemberitaan dan opini publik kerap tidak mempertimbangkan variabel yang digunakan dalam penilaian tersebut.
The Economist, kata dia, menilai demokrasi berdasarkan sejumlah indikator seperti regulasi yang membatasi kebebasan sipil, keputusan peradilan yang dianggap mengganggu iklim demokrasi, serta diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Beberapa regulasi yang disebut menjadi penyebab penurunan indeks demokrasi antara lain Peraturan Kapolri tentang hate speech dan Undang-Undang MD3.
Ia juga menyebut revisi Undang-Undang KPK, Perppu Ormas, serta kasus penangkapan aktivis sebagai bagian dari peristiwa yang menghambat demokrasi sejak 2015 hingga 2024.
“Fakta-fakta inilah yang mengunci dinamika demokrasi berkembang di Indonesia,” ungkapnya.
Kendati demikian, menurut Pigai, pemerintahan yang dipimpin Prabowo-Gibran saat ini dinilai membawa semangat baru.
Pilkada 2024 menunjukkan dinamika demokrasi yang sehat, termasuk keterbukaan dalam pemilu dan kemenangan oposisi di berbagai daerah.
Ia mencontohkan keberhasilan Pramono Anung dan partainya memenangkan pemilihan di DKI Jakarta dan Papua.
“Dalam kepemimpinan paling tidak lima bulan, empat setengah bulan dipimpin oleh Presiden Prabowo, kita mengalami surplus demokrasi,” ujarnya.
“Tidak ada wartawan atau aktivis yang ditangkap karena pernyataan atau kritik terhadap pemerintah,” sambungnya.
Pewarta: Dzakwan
Editor: Khopipah